Minimum internet connection is 384 Kbps to watch all this streaming television channels!
Movie review score
5

The Three Musketeers

The Three Musketeers
The Three Musketeers adalah sebuah novel keluaran tahun 1844 dan ditulis oleh Alexandre Dumas, serta memiliki judul asli dalam bahasa Perancis, Les Trois Mousquetaires.
Novelnya sendiri sudah termasuk karya klasik dan melegenda, serta menceritakan tentang perjuangan seorang pemuda bernama D'Artagnan untuk bergabung dalam skuad elite kekaisaran Perancis, Musketeers of The Guard, yang melegenda dan berisikan tiga tokoh popular Athos, Porthos dan Aramis.
Bersetingkan zaman Revolusi Perancis, novel yang menggebukan semangat nasionalisme Perancis ini memiliki jargon terkenal, tous pour un, un pour tous atau all for one, one for all. Jargon ini menjadi simbol pemersatu Perancis, yang sempat terkoyak-koyak akibat revolusi.
The Three Musketeers sendiri hanyalah merupakan satu bagian dari tilogi karya Dumas, yang kemudian dikenal sebagai D'Artagnan Romances, yakni terdiri atas The Three Musketeers, Twenty Years After dan The Vicomte of Bragelonne. Namun, kemudian The Three Musketeers lah yang paling banyak diadaptasi menjadi drama panggung, serial televisi ataupun film layar lebar.

Untuk menyebut adaptasi The Three Musketeers ke layar lebar ada banyak jumlahnya. Tercatat ada sekitar 22 film adaptasi mulai dari film bisu buatan Perancis tahun 1903 hingga yang terbaru tahun 2011 ini. Namun, mungkin yang paling dikenal adalah versi tahun 1993 dengan dibintangi oleh Kiefer Sutherland, Charlie Sheen, Chris O'Donnell dan disutradarai oleh Stephen Herek.
Romantisme terhadap kisah heroik yang menginspirasi banyak orang sejak era sastra romantisme ini, kemudian mendorong sutradara Paul W. S Anderson, yang dikenal melalui waralaba adaptasi game, Resident Evil, untuk kembali mengadaptasi Three Musketeers ke dalam bentuk sajian baru. Bagaimana hasilnya?
Sequence pembukanya menawarkan sesuatu yang sangat tipikal seperti film-film adaptasi karya Dumas sebelumnya. Pasukan elit The Three Musketeers, melakukan suatu misi khusus titah dari Kaisar Louis XII ( Freedy Fox ), ke wilayah Venesia, Italia, untuk mendapatkan rancangan Leonardo Da Vinci tentang pesawat udara perang.
Dari sini, kita sudah disuguhi peralatan futuristik melampaui zamannya, ketika pimpinan Musketeers, Athos ( Matthew MacFayden) tampil dalam peralatan menyelam dan pakaian ala ninja penjahat di film Hell Boy.
Bergabung bersama Athos, ksatria bekas pendeta, Aramis ( Luke Evans) dan pria macho simpatik, Porthos ( Ray Stevenson ), serta perempuan yang tidak hanya cantik dan seksi, namun memiliki kemampuan membunuh jempolan, Milady de Winter ( Milla Jovovich ).
Sayangnya, Milady, yang menjadi love interest Athos, menghianati mereka. Milady, kemudian memilih bergabung dengan Cardinal Richelieu ( Christoph Waltz ) dan Buckingham ( Orlando Bloom). Milady kemudian menyerahkan rancangan kepada kedua orang culas tersebut.

Sementara jauh di daerah desa Gascony, Perancis, seorang anak muda dengan gaya rambut seperti Justin Bieber, D'Artagnan ( Logan Lerman ), sedang berlatih pedang dengan ayahnya yang mantan Musketeers. Terinspirasi oleh sang ayah, D'artgnan, kemudian memutuskan untuk pergi ke Paris dalam misi bergabung dengan Musketeers.
Sayangnya, D'Artagnan kemudian berkonfrontasi dengan Captain Rochefort ( Mads Mikkelsen ). Namun kejadian itulah yang kemudian mempertemukan D'Artagnan dengan Athos, Porthos dan Artemis , di mana mereka telah menjadi "loyo" akibat penghianatan Milady.
Selanjutnya petualangan D'Artagnan dan The Three Musketeers pun berlanjut menjadi aksi penyelamatan bangsa Perancis dari rongrongan penghianatan Cardinal maupun serangan bangsa Inggris.
Naskah film ini terlihat "berjuang" keras untuk menyeimbangkan antara sensibilitas Alex Litvak, dikenal akan naskahnya dalam Grayskull dan Predators, serta Andrew Davies ( dikenal akan naskahnya yang sering mengadaptasi literatur novel klasik lewat serial televisi Inggris seperti Pride And Prejudice ( 1995) , Little Dorrit ( 2008)). Kadang naskah film ini memuat dialog-dialog "berbunga" dan santun khas sastra Inggris, namun kadang kedodoran dan tidak sesuai apabila dikorelasikan dengan adegan aksi dalam balutan teknologi futuristik. Berseting Perancis klasik, dialog justru terdengar "sangat" Inggris. Kontras dengan cerita di film ini di mana Perancis bermusuhan dengan Inggris.  Sesuatu yang jarang dilakukan di film aksi mainstream kebanyakan.

Litvak memang dibutuhkan untuk menulis adegan aksinya., karena ia terbiasa untuk itu. Namun, keputusan untuk memasukkan adegan pencurian kalung Sang Ratu ( Juno Temple) membuat adaptasi film ini membuat sedikit lebih dekat dengan versi novelnya.
Karya Three Musketeers ( 1973) dan Four Muskteers ( 1974) oleh Richard Lester telah menetapkan gaya tersendiri dengan mengadaptasi secara bebas karya Dumas ini. Pendekatan Lester pun kemudian sering dipakai di dalam adaptasi Three Musketeers lain, termasuk karya Stephen Herek ( 1993).
Begitupun dalam inkarnasi Three Musketeers karya W.S Anderson ini. Anderson membuat Three Muskteers-nya untuk rating PG-13. Sehingga, seseru dan sebrutal apapun pertarungan film ini, tidak ada adegan darah membanjir ataupun mutilasi anggota tubuh. Namun, unsur " kemesuman" tetap ada, seolah mengingatkan bahwa ini adalah cerita tentang Perancis. Misalnya, sang Raja yang kekanak-kanakan dan sangat menggemari fesyen, ditampilkan sangat menderita hati karena jatuh cinta kepada istrinya sendiri. Dan kemudian D'Artagnan memberikan nasihat-nasihat layaknya seorang pakar seksualitas kepada Sang Raja. Demikian juga ada perbincangan saling merendahkan selera fesyen antara Duke of Buckingham  ( Orlando Bloom) dan sang Raja. Memang hal ini memancing tawa ( sedikit) dan seolah menyindir keberadaan Paris dan London yang sering bersaing dalam event fashion week , serta perbedaan selera fesyen Inggris dan Perancis. Namun, ini adalah film aksi. Banyaknya dialog mengenai fesyen membuat atmosfer aksi memang menjadi berantakan.
Namun, untuk urusan busana film ini memang harus mendapat acungan jempol.
Pierre-Yves Gayraud, mampu menghadirkan detail busana layaknya pameran haute couture. Setiap busana yang ditampilkan dalam film ini mampu mencuri perhatian, khususnya busana untuk karakter wanita dan Raja. Balutan busana dari brokat sutra dengan detil yang rinci, serta warna-warna terang ditambah aksesori gemerlapan membuat mata penonton menjadi "terang". Three Musketeers pun menjadi sangat bergaya di sini. Balutan busana dari kulit mereka mampu membuat mereka layaknya sosok model dalam majalah Vogue.

Kostum indah yang ditampilkan selaras dengan sinematografi besutan Glen McPherson ( The Final Destination, Glee 3D Concert). Kemahiran lensa McPherson mengambil gambar indah layaknya memadukan warna biru elektrik dari kostum sang Raja dengan warna-warna pengawal di sekelilingnya. Gambar menjadi sangat indah, terutama untuk adegan di istana. McPherson bekerjasama dengan unit desain mampu menghadirka seting dan warna indah istana bergaya Bavaria dan di set studio Babelsberg di Berlin.
Kesalahan terbesar Paul W.S Anderson adalah memperlakukan novel klasik yang berhasil membuat jatuh cinta, seperti halnya keada film-filmnya sebelum ini seperti Resident Evil dan Alien VS Predator.
Banyak sekali referensi film-film aksi terkenal di film The Three Musketeers garapannya. Ada sentuhan slow motion dan menghindari peluru ala The Matrix. Kemudian ada pula adegan menghindari perangkap laser, layaknya Entrapment dan Resident Evil, ketika Milady ( Milla Jovovich) mengambil rancangan Da Vinci dan kalung Sang Ratu. Semua membuat kita seolah menonton film aksi "biasa" dan tidak menjadikan film ini istimewa. Yang terjadi adalah The Three Musketeers milik Anderson bak parodi film-film aksi terkenal. Sesuatu yang sangat tidak perlu.
Ada pula referensi dari Pirates of Caribbean. Bedanya, di The Three Musketeers adegan perang antar kapal berlangsung di udara, bukan di air. Namun, secara konstruksi dan desain, kapal udara sangat mirip dengan kapal bajak laut. Apalagi dengan simbol di depan kapal masing-masing. Desain kapal yang sangat bertentangan dengan prinsip aerodinamika, membuat semuanya menjadi tidak masuk akal dan dibuat-buat.
Paul W.S Anderson tampak malas mencari inovasi aksi baru di film ini. Meminjam referensi sana-sini, membuat film ini menjadi tisak istimewa alam adegan aksinya.
Para pemain yang notabene adalah pemain berkualitas juga menjadi sangat disia-siakan bakatnya. Milla Jovovich sebenarnya seorang aktris dengan bakat akting mumpuni. Namun, di film ini, ia tampak tidak berbeda di Resident Evil. Bedanya di sini Milla memakai kostum yang lebih rumit.
Sementara Logan Lerman, harus belajar banyak akting lagi. Meskipun secara keseluruhan jauh lebih baik dari aktor otot berotak kecil, Taylor Lautner, ada beberapa momen di mana telihat Lerman canggung dalam melakukan aksi laga. Yang terlihat jelas adalah ketika pertarungan antara D'artagnan  melawan Captain Rochefort di atas atap kastil. Kuda-kuda yang dilakukan Lerman tampak sekali sangat goyah dan tidak mantap dibandingkan dengan Mads Mikkelsen. Padahal D'Artagnan digambarkan sebagai seorang prodigy permainan pedang. Jika Anda pernah belajar permainan anggar, maka akan sangat mengerti bahwa kuda-kuda adalah posisi penting untuk menyerang ataupun bertahan.
Yang mencuri perhatian dalam The Three Musketeers adalah sosok sang Raja yang diperankan Freddy Fox. Dia sangat pas memerankan karakter raja kekanak-kanakan dengan gaya busana haute couture. Sepintas dari dandanan sang Raja seolah merupakan impersonifikasi dari Lady Gaga. Dan kehadirannya harus diakui sangat menghibur.
Juno Temple meskipun perannya sedikit sebagai Sang Ratu, namun aktingnya tetap cemerlang dan menyenangkan. Sangat terlihat bahwa Temple memiliki akting mumpuni dan wajar bila nantinya akan banyak mendapatkan peran di film-film berkualitas.


Begitupun penampilan Ray Stevenson. Penampilannya sebagai Porthos yang flamboyan dengan suara berat bisa dihadirkan sebagai Musketeers yang seksi. Selebihnya baik Luke Evans yang memerankan Aramis maupun Matthew MacFayden sebagai Athos seperti mouseketeers bukan musketeers yang berkarisma.
Kelemahan memang tampak jelas di Three Musketeers versi Anderson.Kelemahan adalah dari plot cerita dan gangguan referensi-referensi film yang sangat tidak perlu. Mungkin, Anderson terpengaruh oleh hype yang dibangun waralaba Pirates ataupun waralaba Indiana Jones.
Melihat film ini seperti melihat adaptasi The League of Extra Ordinary Gentlemen ataupun Gulliver's Travel yang juga mendapat kritikan tajam. Paul W. S Anderson lupa bahwa ini adalah adaptasi karya klasik. Bukan berdasarkan materi imajinasi popular. Biar bagaimanapun akan dibandingkan dengan karya klasiknya.
The Three Musketeers seolah kehilangan fokus antara aksi dan narasi. Untuk ukuran film aksi berbujet besar, jelas film ini tidak menarik dan agak menjemukan. Sementara bagi penggemar karya sastra, film ini juga sedikit sekali menawarkan hal itu.
The Three Musketeers cukup menghibur, terutama untuk adegan Sang Raja dengan segala kecintaaanya akan fesyen. Namun, tidak memberikan keistimewaan apa-apa dan mudah terlupakan, terlebih di Indonesia kita hanya bisa menyaksikannya dalam format 2 Dimensi

Leave a Reply

UPDATE :


Live stream

/

.

free counters